CARI APA,YA?

Kamis, 01 Juli 2010

Bukan Pilihan

18 April 2010 5.911 views One Comment

“Kapan melamarku, Zul?” jemari Silvy bermain di atas lengan kananku. Ia duduk satu kursi bersamaku. Dua matanya tajam menatapku.

Cahaya meredup, matahari siap kembali ke peraduan. Awan membusung merah di barat, angin berhembus menggoyang daun pepohonan depan kost. Aku diam, menatap seorang ibu menyapu halaman rumahnya, terkadang ibu itu melirik anaknya yang bermain kelereng bersama teman-temannya, wajahku berpaling dari Silvy.
“Jawab, Zul!” Silvy menggoyang lenganku.

Sejenak kupejamkan kedua mataku, mengingat saat Silvy kuantarkan men-daftar di salah satu perguruan tinggi, mengenang dua bulan lalu aku mendampinginya wisuda, berpose dengan keluarganya, juga kami berpose bersama, ia tersenyum lebar saat lampu kilat menyambar.

Kubuka dua mataku, mencoba sadarkan diri. Aku masuk kuliah lebih dulu, tapi sampai sekarang aku masih betah berangkat ke kampus dengan tas di punggung. Entah, aku sendiri tak tahu sudah berapa tahun aku bertemu dosen di kelas, sudah berapa kali aku harus mengulang meteri-meteriku, bahkan aku tidak tahu sekarang semester berapa, mungkin sebelas, tapi kata Silvy tiga belas.

“Tunggu aku wisuda, Silvy,” suaraku berat menjawab.
“Kamu selalu berkata setelah wisuda, setelah wisuda. Tapi kamu sendiri tidak tahu kapan akan diwisuda!” Silvy sudah bosan. Ketika silvy masih kuliah, ia pernah memintaku untuk melamarnya. Permintaan itu semakin sering kudengar seiring ibunya bertanya tentang keseriusanku, tapi jawabanku sama, “setelah wisuda.”
“Pasti aku akan wisuda, Silvy,” kucoba tenangkan dia.

Wajahnya tampak mengkerut, ia benarkan duduknya, semakin menghimpitku, “Zul, wisuda memang selalu datang, tapi kalau kamu tidak pernah mengejarnya, tidak berusaha, sama saja,” hari ini Silvy yang sabar, ketus.
“Aku janji, aku pasti datang melamarmu,” aku rajut jemari halusnya sambil menatap untuk meyakinkannya, aku tak ingin dia pergi dariku.

“Janji, tak semudah itu berjanji, tapi tidak bisa kau tepati. Utangmu sudah banyak, Zul,” Silvy kesal, ia mengibas tanganku lalu pergi meninggalkanku terpaku di atas kursi, kerudungnya melambai dengan jalan setengah berlari terpacu emosi. Aku berdiri ingin memanggilnya kembali tapi ia tak mungkin mendengar, telinganya tak lagi terbuka. Silvy sudah hapal semua kata dariku, ia bosan, ia tak lagi butuh romantis-romantisan, tanganku menggantung, mulutku yang menganga kututup kembali.

“Fuh…” kusandarkan tubuhku di tiang kayu, kepalaku tertunduk lesu, jemariku mengurai rambut, lidahku terasa membeku.

Aku sendiri tak mengerti, kenapa aku tidak menyadari umurku semakin berkurang, dua puluh lima, waktu yang tepat untuk bersanding di pelaminan, bukan memeluk bantal, memegang obeng memoles sepeda motorku, tapi aku…ah…aku…kupijat keningku.

***

Akhir pekan aku pulang ke rumah, Air Tiris. Ayahku sakit, jalannya sudah bungkuk, sedangkan tongkat tak lagi bisa membantu, ibu memapahnya ke kamar mandi, ayah tertatih-tatih berjalan, makan harus disuapi, nafasnya berat, tulang di tangan tampak ke permukaan, otot sisa kejantanan menyembul. Ayah lebih sering terbaring di ranjang menatap atap.

Kusibak tirai kamar, kulihat mata ayah terpejam, dadanya turun naik, sebagian tubuhnya tertutup selimut. Aku duduk di sampingnya, kugenggam tangan ayah setelah menciumnya, mataku berkaca menatap wajah ayah yang teronggok layu di atas bantal, semakin lama mataku melihat ayah semakin banyak doa yang berkelebat di bibir.
Ibu sedang menjahit, aku ambil posisi duduk sebelahnya di ruang tamu, “Bu….”
“Apa?” ibu membenarkan kacamatanya.

“Zulhamdi mau melamar Silvy, bu,” aku jujur.
Seketika itu ibu berhenti meneruskan jahitannya, ”Kamu belum selesai, Zul, dan menikah tidak semudah membalikkan telapak tangan.”

“Zul sudah berpikir berkali-kali,” aku melihat anak kecil bermain sepeda dari lubang jendela.
Ibu melepas kacamatanya, menatapku dalam-dalam, “Tanyakan pada ayahmu.”
Aku diam, kusandarkan tubuhku sembari kuusap wajah.

“Ukh…ukh…ukh…” suara batuk menyeruak, aku berlari ke kamar ayah sebelum ibu berdiri.
“Yah,” seketika kulihat ayah terbangun dari tidurnya. Segelas air putih kuberikan padanya.
Ayah menyeret tubuh, ia ingin duduk, kusiapkan bantal belakang punggungnya, ayah langsung menghabiskan segelas kecil air putih.

“Sudah lama, Zul?” suara ayah serak.
“Zulhamdi baru datang, yah,” kuletakkan gelas di atas meja kecil.
Ayah menghirup nafas, tangannya menarik selimut, “Bagaimana kuliahmu, Zul?”
Kalimat itu selalu menyapa seperti salam, namun matanya tak pernah melihatku, ayah sudah bosan dan aku hanya bisa diam.

Sekilas kupandangi guratan kecewa di wajahnya, “Zul ingin melamar Silvy, yah,” aku beranikan diri.
Ayah tak terkejut, matanya lurus menatap bias ke jemari kakinya. sejenak ayah menunduk, “Ukh…ukh…ukh…” suara batuk kembali terdengar, “Ayah tidak melarangmu, tapi sisa umur ayah hanya untuk menunggu kamu lulus S1.”
Ayah menoleh ke arahku, “Ayah sudah puas dengan tiga cucu dari kakakmu, sudah bahagia mendapat dua menantu, tapi semua itu tak berarti jika kamu belum lulus, Zul. Jangan buat ayah selalu datang dalam mimpimu menanyakan kelulusanmu.”

Hatiku bergetar mendengar suara serak ayah.
“Zul, kesempurnaan kebahagiaan orang tua ada pada anaknya.”
Mulutku terkunci, semua keinginanku pudar, semua kata ayah merasuk mengisi setiap relung dalam ragaku, sekujur tubuhku merenung.

***

Aku berjalan di antara rak buku perpustakaan, langkahku merambat pelan mengikuti mataku yang menelisik setiap judul, kadang aku berhenti, menarik buku ke luar dari barisannya, tapi tak jarang kukembalikan. Beberapa hari ini aku terjebak di sini.

“Zulhamdi, Silvy datang,” salah satu temanku memberi tahu.
Kututup buku, kuletakkan di meja paling pojok, setengah berlari aku ke luar, demi Silvy kucoba menjadi lelaki yang sempurna.

Kuhampiri Silvy, ia duduk di kursi panjang bawah pohon sawit depan gedung perkuliahan, aku duduk di sampingnya, “Sudah lama, Silvy?”

Silvy menggelang, “Gimana, Zul? ibuku selalu bertanya. Kamu tahu sendirilah, Zul, bagaimana orang tuaku.”
Seketika teringat setiap kata dari ayahku, tubuhnya, suara batuknya, bagaimana ia terbaring. Kutatap mata Silvy, kulihat ia berharap aku menjawab, “Tunggu aku, Silv.”
“Bosan aku mendengarnya, Zul,” wajah silvy berpaling dariku.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar