CARI APA,YA?

Kamis, 01 Juli 2010

Risau Ramadhan

Mentari pagi.cuaca yang tak tentu,kadang sejuk menyejukan,kadang panas memanaskan.seperti perasaanku yang bergejoloak,menanti kedatangan waktu bahagia itu.pulang.Hari ini masuk sekolah terakhir,menurut agenda yang ku baca kesibukan hari ini adalah bersihkan seluruh sedut kelas em-te es,dan berbaris dibelakangnya acara-acara yang lainya.

”ayolah,berangkat!!”serunya padaku setelah rapi berbaju putih biru,sambil menarik tanganku.

”santai aja,kalee jam berapa,sih?emangnya mau ngapain disana?”

”iya ,sih masih pagi tapi semangat dong,besok kita mudik!”

Aku hanya diam,karena kantukku tak tertahan.aku kambaali tertunduk sambil sesekali manguap.

akhirnya ku langkahkan kaki kecilku bersama toupik menuju kekelas.07.26,jam sudah bersemangat untuk berdentak.Kini,perlahan tapi pasti,kakiku sudah terdiam didepan kelas.sepi.akhirnya kami sempatkan ngobrol sejenak,dalam pojok empati.sambil menikmati umbun pagi.

”Ghozi,kanapa kau tartunduk lesu gitu?ngobrol lah”ajaknya semangat dengan logad bataknya.

”aku bingung,sob hari ini harusnya semua bahagia tapi aku bingung tak menentu”sambil memberikan tasnya yang tadi kubawakan.

”kenapa,kangen pacar?”

”Ah,kamu...........”aku diam,sembari berfikir mungkin benar yang dikatakan taupik.........

***

”Tet....tet....tet....”bunyi bel menggema di seluruh sudut madrasah.kami pun segera masuk.

”ahk...pe-pe nya belum selesai lagi”teriak salah satu anak penuh amarah

”hmmm...makanya,bro yang namanya pe-pe,ntu dikerjain di kamar nih,contoh si ghozi!”celotah rizal,membuat aku tarsipu malu

”katanya anak rajin,kok nggak dikerjain tugasnya”tindih toupik

Suasana pagi itu memang sangat riuh,tak seperti hari biasa karena perpulangan di depan mata.walau puasa,tak menguras semangat mereka untuk merasa bahagia.penuh suka cita.sambil menunggu ustdz datang.

”pagi anak anak”suara itu datang tanpa salam menyapa

”pagi,tadz!!!!!”seru anak-anak semangat.

”kaifa khalukum?”

”alhamdulillah,inni bi khoir”

Sunyi.............................

”hmm....anak-anak ada berita duka hari ini”

”apa,ustadz?”tanya seorang kawanku penuh obsesi.

”pondok kita.......”

”pondok kita kenapa,tadz”

”pondok kita akan meliburkan santrinya selama 1260 menit!”

”eh..eh..berapa tuh”teriak budi kencang

”tiga minggu...brooooooooo kan udah ada pengumumannya,dasar gapmu”teriak satu kelas memarahinya

”apa tuh gapmum”

”gagap pengumuman!!”anak-anakmulai jangkel.

Ustadz syaibani,seorang tua yang lugu dan suka menyatDi hari sekolah terakhir ini dia menyampaikan beberapa cangkir petuah hangat,penuh makna untuk bekal pulang.Karena memang tiada rasa tanpa dia di kelas.

”Tet...tet...”bel tanda pulang dirasakan anak anak sampai dalam hatimereka hal itu terlihat dari ekspresi senang rona wajah santri.Mereka pun langsung beranjak pergi meninggalkan kelas menuju rumah penuh sahaja...........masjid

”eh,pik ngomong ngomong aku tambah kurus,ya!”

”alah,perasaanmu aja kali”

”hahaa...iya kali,ya”

”eh,bro asik ya berkumpul dengan keluarga,ramai”

”iyalah,kumpul sama keluarga.penuh canda tawa.nostalgia.apalagi kalau didesa,kekeluargaanya masih terasa”

Sambil melangkah menuju masjid,kami pun mengiringi langhkah dengan canda tawa anak smp yang lugu.Kami tak terlalu peduli,sekalipun tengah di pelototi terik matahari.

Taufik adalah insan yang lugu,namun tak pemalu.Dia tinggal disalah satu er-te di medan,sumatra utara.tapi dulu .Masa kecilnya dilaluinya dengan duka.Ayahnya meningagal saat ia usia lima tahu.Miris.kalau saja itu tak terjadi,mungkin dia tak akan sekolah disini,karena dia sekarang di asuh oleh neneknya di jogjakarta.dia sering melamun sendiri diteras masjid mungkin rindu akan ayahnya

***

Hari yang bahagia itu pun datang,seakan di padang mahsyar seluruh santri berteriak kegirangan.Pukul tujuh lewat sejengkal,aku dan para sohibku habiskan untk bertukar kualitasa diwaktu terakhir disini.

”kreek..”pintu kamar terbuka disusul dengan sesosok hitam,kelam muncul dari balik pintu

”assalamu’alikum”

”Wa’alaikum”jawab kami penuh tanya.

”Silahkan masuk,pak”tambah denny

Ternyata abiku yang terlihat kusam letih.mungkin lelah dalam lelehan keringtnya.tak menuggu lama akhirnaya kami pun segera berpamitan kepada sohib-sohibku lalu beranjak ke mobil tua kami, naik,gas,lalu,melaju kerumah.Sudah setengah perjalanan,ku hanya terdiam serasa baru kenal sama abiku.Otaku terus kuputar mencari bahan obrolan seiring dengan berputarnya ban mobil kami

”eh,bi gimana kabar keluarga dirumah,kok umi nggak ikut?”ku mulai membuka pembicaraan

”sehat..hmm umikan masuk kerja,zi!”

”ooo iya,lupa bi”

Mobil kami terus melaju kencang.Aku sempat tertidur pulas,hingga mobil,pun tinggal lima menit dari rumah

”tok..tok..tok.”ku ketok pintu kokoh rumahku

Ternyata pembantu tuaku membukakan pintu untuk kami.Wajah heran berkoalisi dengan senang tampak jelas pada wajahnya.Aku langsung merubuhkan badanku,diatas kasur empukku.Hari hariku dirumah tak seramai ramadhan tahun lalu. Kakaku tidak pulang tahun ini.ia masih bekerja di Sudan.rindu rasanya.

***

Sabtu pun datang.....ku termenung dalam naungan senja indah.Rindu akan semua waktu indah saat ramadhan lalu.Sesekali kupandang langit,senja itu pun seakan tersenyum haru menatapku.

”allahuakbar allahuakbar!!!”suara adzan menghiasi sore ini

Kuberanjak menuju masjid,dan menegakkan sholat,lalu kuteruskan dengan takbiran bersama teman-teman lamaku

”Bangun..le bangun”kata ibu sambil menggoyangkan tubuhku.

”allahuakbar,allhuakbar,allhuakbar laailahaillahu allhahuakbar walillahilham”

Takbir itu membuatku sedih,karena kakaku tidak bisa lebaran lahir batin disini.Aku hanya berharap senja bersama kakaku dulu bisa terulang dan

Akankah ramadhan tahun depan dapat lebih bahagia?

Arti Sebuah Ulang Tahun

Tahun terus berganti membuatku tumbuh dewasa, saat ini di umurku yang ke 25 tahun membuatku merasa lebih banyak tanggung jawab yang harus aku lakukan. Aku ingin semua berjalan dengan baik hingga ajal memanggilku.Entah apa yang akan terjadi di masa depanku, yang hanya bisa aku lakukan hanyalah berbuat kebaikan sebanyak mungkin. Semenjak aku lahir di dunia ini aku belum pernah merayakan ulang tahunku, tapi setelah aku bekerja dan mempunyai uang sendiri, hanya sekali aku merayakan dengan teman temanku. Di ulang tahunku yang ke 25 aku mempunyai kekasih yang tidak menyukai perayaan ulang tahun, yang penyebabnya akupun tidak tahu. Dan inilah yang terjadi.Sore hari sebelum malam ulang tahunku aku berharap dia membuatkan aku sebuah kejutan, aku tidak memberitahunya apa yang aku inginkan, karena aku ingin merasakan kejutan dari kekasihku. Tapi aku tidak melihat reaksi dari dia, apakah dia lupa atau tidak mau tahu. Aku merasa sedih dan putus asa, mungkin aku tidak akan pernah mendapatkan kejutan seumur hidupku. AKu mulai menangis, dan pergi dari rumah untuk menenangkan diri. Saat aku pulang ke rumah, aku tidak melihatnya. Rumah kosong dan seperti kuburan. Aku seorang diri di hari ulang tahunku, aku menangis dan terus menangis. Karena lelah maka aku ingin minum sesuatu yang segar, maka aku buka kulkas dan minum air dingin. Apa yang aku lihat setelah itu, membuatku terkejut. Ada kotak dan dibungkus dengan plastik. Dengan cepat aku buka karena aku sangat penasaran, dan isinya adalah kue ulang tahun dan juga lilin 25. Aku merasa bahagia, dan sedih. Aku tidak mengerti apa yang membuatnya tidak terlihat bahagia di hari ulang tahunku. Tidak lama kemudian dia dating, aku berada di kamar sedang bermain gitar. Dan dia segera berkata, “maaf aku tidak suka ulang tahun, tapi aku belikan kue ulang tahun, dan sebenarnya aku ingin menyanyikan lagu untukmu tapi aku tidak bisa.” Kata-kata yang dia ucapkan membuatku sangat sedih, aku tahu dia ingin membuat kejutan buat aku tapi bukan seperti ini caranya, kalau dia tidak suka dengan ulang tahun maka mengapa dia tidak memberitahukan kepadaku sebelumnya? Jadi aku tidak akan mengharap apapun dari dia.Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam, dan dia mengucapan selamat ulang tahun. Aku sangat terluka, dan tidak dapat melupakan apa yang telah terjadi di hari ini dan membuatku mengingat hal hal yang dia lakukan dan membuatku naik darah. Dengan marah aku berkata, “seumur hidupku aku belum pernah menangis di hari ulang tahunku walaupun aku tidak pernah merayakannya, aku merasa bahagia hanya dengan ucapan selamat terlebih dari orang yang special.” Kejadian ini membuat kami bertengkar, yang mengakibatkan hubungan kami hampir putus. Esuk harinya kami bertemu lagi, dan dia mulai mengatakan hal yang menurut dia adalah benar. Dia menginginkan keputusan yang terbaik buat kami, dan ini membuat aku sedikit marah, tapi aku mencoba diam dan mendengarkan apa yang dia bicarakan. Setelah dia selesai berbicara, maka aku mulai berbicara, “kamu ingin tahu keputusan apa yang aku ambil? Sebelumnya aku ingin bilang sesuatu : sudah lama kita saling kenal, walaupun kita resmi pacaran baru beberapa bulan yang lalu. Saya akui kita berbeda dan kita sering kali bertengkar. Tapi kita masih mencoba untuk saling mengerti, yang pada akhirnya untuk yang terakhir kali aku memohon kepada kamu untuk memberikan satu kesempatan lagi untuk membuat hubungan kita baik dan abadi. Dan itu adalah janji dari mulutku sendiri, bahwa ini yang terakhir kali aku memintamu kesempatan. Dan ternyata di hari ulang tahunku kamulah yang membuat aku marah dan melanggar janjiku kepada kamu untuk tidak bertengkar lagi. Aku tidak bermaksud untuk bertengkar dengan kamu, tapi ini hari ulang tahunku yang mana bagi aku ini sangat special, dan aku tidak tahu bahwa kamu tidak menyukainya. Dan pagi ini belum juga aku meniup lilin di kue yang kamu belikan untukku. Dan kamu sudah membicarakan tentang apa keputusan yang terbaik untuk kita. Aku berterima kasih atas kejutan yang kamu berikan untukku, tapi kejutan ini menyakitkan buat aku, kue yang kamu beli itu penuh dengan air mataku di hari kelahiranku. Aku selalu menurut dengan apa yang kamu katakan, dan setelah aku berjanji untuk yang terakhir kali aku tidak mau membuat pertengkaran lagi dengan kamu. Tapi untuk hal yang ini maaf, ini adalah hari istimewa untukku, yang mungkin bukan hari yang istimewa untukmu. Jadi apapun yang ingin kamu putuskan aku akan melakukannya. Tapi aku ingin kamu berfikir, saat aku bersamamu dan memberimu semangat saat kamu lemah, walaupun itu bukan istimewa untukku tapi aku adalah kekasihmu, sudah sepantasnya aku selalu berada disisimu walaupun itu hal yang tidak aku sukai.” Dia terdiam dan mengatakan maaf telah merusak hari istimewaku. Dengan kepala yang dingin aku simpan emosiku dan aku terima maafnya, dan aku menyuruhnya menyalakan lilinnya agar aku bisa berdoa dan meniupnya. Diapun menyalakan lilin itu dan aku meniupnya. Aku lihat dia tersenyum, dan mencium pipiku dan berkata : SELAMAT ULANG TAHUN. Dalam hal ini aku belajar sesuatu, pertama tentang kue itu. Kue itu hanya satu dan terletak lilin di atasnya. Saat malam pertengkaran kami kue itu terasa berat, dan yang aku lihat hanyalah kue yang berisi penuh dengan air mataku. Tapi esuk harinya setelah lilin itu dinyalakan oleh orang yang di cintai dan aku tiup apinya, maka kue itu sangatlah ringan dan mempunyai arti yang besar di hari ulang tahun, karena sebelum lilin padam kita selalu mengucapkan doa yang mana semoga doa kita akan terkabul suatu hari nanti. Hal ke dua yang bisa aku pelajari adalah sangatlah baik bila kita menyelesaikan masalah dengan kepala dingin dan memberikan penjelasan yang masuk akal, maka masalahpun akan terselesaikan dengan hasil yang baik. Aku bahagia saat ini setelah aku dapat makan kue ulang tahun yang di berikan oleh kekasihku. Ulang tahunku yang ke 25 membuatku bangga kepada diriku sendiri, aku mendapatkan kebahagiaan dari kalimat yang aku ucapkan kepadanya dan membuatnya mengerti arti dari sebuah ulang tahun.

Tukang Cukur

Barangkali memang ada perubahan dalam dirinya. Tapi entahlah. Sebagai seorang tukang cukur, ia hanya berhadapan dengan kerutinan, melakukan hal yang sama setiap hari sampai-sampai ia pernah berpikir hidup ini hanyalah perulangan dan karenanya tak ada yang penting. Heran, bagaimana tiba-tiba dalam dirinya muncul semacam harapan?

Barangkali itu bukan harapan. Barangkali hanya semacam perasaan senang, perasaan suka, seperti yang selama ini selalu ia ciptakan untuk menghilangkan kejemuan setiap tangannya bergerak meluncur turun-naik berulang-ulang menekan kulit dengan pisau cukur yang dimiringkan. Ia nikmati luncuran pisau itu saat tiba di pipi, di dahi, tapi ia akan lebih senang lagi ketika pisau cukur itu tiba di dagu. Dagu yang kokoh. Dagu lelaki. Tak jarang ia tiba-tiba mengangkat wajah, menatap ke cermin, membandingkan dagu yang tengah ia cukur dengan dagunya yang tirus dan halus. Heran, kenapa bisa begitu berbeda?

Tapi itu tak penting. Tapi ia kembali memikirkan dagu itu. Dan lelaki. Lelaki itu. Ia muncul di pintu biasa-biasa saja seperti orang-orang ingin bercukur lainnya melayangkan pandang mencari-cari kursi yang kosong (artinya, mencari tukang cukur yang menganggur) lalu mereka bertatapan dan tiba-tiba dadanya berdebar. Mungkin ia panik. Tapi tidak. Sebagai tukang cukur satu-satunya yang menganggur, ia ingat, saat itu, buru-buru ia tersenyum seraya menggerakkan tangan mempersilakan lelaki itu duduk. Tapi, kapan ia pernah tersenyum kepada seseorang yang ingin bercukur apalagi mempersilakannya duduk?

Ahh, apa salahnya. Setiap tukang cukur biasa ramah kepada orang-orang yang dicukurnya. Tapi ia ingat setelah itu ia membeku, diam seperti batu. Tapi tubuhnya berpeluh. Dingin. Ia berusaha membendungnya, bersikap biasa, tapi tangannya gemetar ketika mulai mencukur muka.

“Anda sakit?”

“Aaa ... tidak.”

Ia sumpahi dirinya ketika itu. Kembali ia usahakan untuk bersikap biasa. Tapi celaka, tidak bisa. Ia bayangkan begitu selesai lelaki itu akan pergi entah ke mana dan ia akan melupa­kannya, hidup hanya perulangan dan setiap perulangan hanya akan begitu-begitu saja—memuakkan. Tapi, tapi, tangannya menggigil ketika pisau cukurnya sampai di dagu.

“Anda pasti sakit.”

“Aaa ... tidak. Tidak.”

***

Hanya begitu peristiwa awalnya. Dan ketika segalanya telah selesai, dan ketika lelaki itu melangkah ke kasir dan membayar lalu lenyap di pintu, tiba-tiba hidup menjadi sunyi. Ada yang seperti terlepas dari raihan dan ternyata hidup bukanlah begitu-begitu saja. Tapi tidak.Hidup ini hanyalah perulangan. Dan memang hanya kesunyian. Dan kesendirian. Ia malah telah lama melupakan dan menyebut hubungan antara seseorang dengan seorang lain hanyalah bohong besar, tak lebih dari “Hai!” tertimpal “Hai!” seperti batu menimpa kaleng yang mesti bersuara, sekadar menunjukkan bahwa mereka bukanlah terdiri dari daging yang bisu. Bahkan di ruangan ini, di tempatnya bekerja, seorang tukang cukur dengan tukang cukur lain berkomunikasi hanya dengan gumaman. Gumaman tak jelas, kosong, tak berarti apa-apa, kecuali memperli­hatkan bahwa seseorang tengah berusaha keluar dari kepungan kejemuan.

Tapi tidak. Debar di dadanya sering berulang. Setiap se­seorang masuk ingin bercukur, serta-merta ia menoleh ke pintu, membayangkan bahwa lelaki itulah yang datang. Setiap pisau cukur­nya meluncur di dagu, entah di dagu siapa, dagu lelaki itulah yang olehnya selalu terbayang. Ahh, tidak. Lelaki itu telah lenyap, telah lenyap, dan kini entah berada di mana. Mungkin saja di sebuah tempat yang jauh di sebuah kota yang jauh, dan tak mungkin lagi muncul—hanya untuk bercukur—di kota ini. Barangkali saja ia seorang pelaut, dan kini telah berada di benua yang lain, dalam kehidupan yang lain. Di benua yang lain itu, apakah ia juga tengah bercukur dengan seorang tukang cukur yang lain? Tapi, tapi, rupanya tidak.

***

Tepat sebulan kemudian lelaki itu kembali muncul. Ia, saat itu, sebetulnya tengah mencukur seseorang tapi rupanya lelaki itu sengaja menunggu. Ia ketahui itu ketika si lelaki duduk di kursi tunggu, membolak-balik majalah dan koran tapi sebetulnya lebih sering menatap ke arahnya dan setiap mereka bertatapan dadanya gemuruh. Ia tak bisa berkonsentrasi, tak bisa tenang, sehingga lelaki yang tengah ia cukur jadi selesai lebih lama dari yang diharapkannya. Lalu, seperti sebulan yang lalu itu, ia kembali seperti batu. Batu yang dingin, tapi berpeluh. Dan tangannya, tangannya kembali gemetar ketika akan mulai mencukur muka.

“Anda masih sakit?”

“Aaa ... tidak. Ma-maaf, Anda tidak akan luka.”

“Saya mengkhawatirkan Anda. Kelihatannya Anda sakit. Tangan Anda dingin dan menggigil.”

Tidak hanya tangan. Tapi seluruh tubuhnya dan berpusat di dada. Saat itulah ia tak lagi meragukan bahwa dalam dirinya, dalam hidupnya, memang telah ada harapan. Harapan? Ia ingin melu­pakan tapi pipi lelaki itu, dagu lelaki itu, sungguh melahirkan rasa kasih. Dan mata lelaki itu, dan hidungnya dan bibirnya dan cara lelaki itu berbicara, sungguh menumbuhkan rasa cinta. Dan lalu: pertemuan (tepatnya, saat-saat bercukur) selanjutnya, ia mulai membayangkan dan merasa sayang kalau-kalau lelaki ini telah jatuh ke tangan wanita. Tapi siapa tahu? Lelaki ini terlalu tampan untuk tak terjerat oleh bujuk rayu manis yang memualkan. Atau ... tidakkah lelaki ini telah beristri? Mendadak ia jadi cemburu.

Cemburu. Dan rindu. Tentu pula rasa gelisah karena akan lama mereka kembali bertemu. Berhari-hari, berminggu-minggu. Dan tak ada yang bisa ia lakukan kecuali menunggu, berharap, dan kemudian kecewa lalu malam-malamnya ia akan keluar melangkahkan kaki entah ke mana. Mula-mula ia senang ke keramaian, membayangkan bertemu dengan lelaki itu tak sengaja di tengah lalu-lalang orang, tapi billboard dan lampu-lampu membuatnya sering pusing dan limbung. Ia tarik tubuhnya ke kegelapan, menyuruk-nyuruk ke kedalaman kota dan lama-kelamaan jadi bagian dari lorong-lorong tua yang dingin, lembab, dan bagai berasal dari suatu zaman di masa lalu entah kapan dan di mana.

Ia pikir, dari hari ke hari, tubuhnya mengurus. Tapi ajaib, ia merasa bergairah. Betulkah harapan bisa membakar?

***

Lebih dari membakar. Suatu hari ia kesiangan, terlambat sampai di toko cukur karena perjalanan malamnya yang larut. Ia sorongkan anak kunci ke laci, memutar lalu menariknya, menata alat-alat cukur seperti biasa, tapi tiba-tiba perasaannya menga­takan agar menoleh ke samping. Dan ia terkejut. Lelaki itu ada di sana. Memejam-mejamkan mata tengah bercukur dengan kawannya. Ada beberapa detik ia terpana. Memperhatikan bagaimana tangan dan pisau cukur rekannya bekerja, bermain di dagu, di pipi, di dahi.

Serta-merta, sekejap mata, ia raup seluruh alat cukurnya. Ia kembalikan semuanya ke laci secepat kilat lalu mengunci, mem­balikkan tubuh, lalu melangkah secepat berlari. Di luar, barang­kali ia berteriak. Tapi entahlah. Kesadarannya baru sempurna ketika dengan terengah ia telah berada di kamarnya. Kenapa lelaki itu—lelakiku—tidak menunggu dirinya?

Berhari-hari ia seperti sakit. Bermalam-malam ia seperti gila. Tapi tidak. Ia toh tahu hidup ini tak begitu penting. Hidup ini hanyalah perulangan. Hanyalah kejemuan. Hidup ini hanyalah kesunyian. Hanyalah kesendirian. Heran, kenapa ia pernah percaya kepada harapan?

Ia seorang tukang cukur dan kewajibannya hanyalah mencukur. Tak sengaja ia kini punya malam dan lorong-lorong kota yang samar, yang kelam, seperti melarutkan segenap kesedihan. Kegela­pan seperti palung yang dalam, menyedot apa pun seperti menelan. Tandas. Kadang ia berpikir, alangkah senang menjadi bagian dari kelenyapan.

Tapi tidak. Pekerjaan membuatnya harus muncul setiap pagi, sepanjang siang sampai senja hari. Mencukur. Sejak kapankah ia jadi tukang cukur? Ah, entahlah. Telah lama ia melupakan segala yang berkaitan dengan masa lalu dan asal-usul. Bukankah keb­eradaan seseorang hanya dilihat pada hari ini dan kini? Dan lelaki itu, telah empat kali dengan pagi ini, kembali ia dapatkan tengah bercukur dengan kawannya.

Ada yang tiba-tiba menyesak. Tapi tidak. Ia telah, telah tak peduli. Tapi tidak. Pipi lelaki itu, dagu lelaki itu, sungguh melahirkan rasa kasih. Tapi tidak. Hidup telah, telah tak lagi penting. Tapi tidak. Bibir lelaki itu, hidung lelaki itu dan matanya yang sayu terpejam, sungguh menumbuhkan rasa cinta. Tapi tidak. Tapi ... tapi, tubuhnya menggigil.

Lelaki itu masih menutup mata ketika dengan begitu saja ia menggeser rekannya. Rekannya seperti tersihir, memberikan tempat untuknya, membiarkan ia begitu saja menggantikan pekerjaannya.

Tenang sekali tangannya meluncur. Mencukur dahi, mencukur pipi, mencukur dagu. Seperti biasa, lembut. Halus. Lelaki itu seperti tertidur.

Tenang sekali pisau cukur itu turun ke leher. Sedetik. Dua detik. Pada detik ketiga ia tiba-tiba menekan, lalu menariknya dengan satu sentakan.

Darah muncrat. Menyembur-nyembur. Dalam pandangannya begitu menakjubkan. Amat indah.***

Lembaran Kekecewaan


setelah penantian panjang

Ternyata semua itu hanya angan

ya....apakah hanya angan-angan saja yang mampu engkau berikan pada kami?!

Aku menanti sekian lama tapi,kenapa harus gagal lagi

Sudah sering kisah ini kuadukan pada Sang kuasa

Namun,hanya kekecewaan saja yang acap kali menyambangiku

Ingataanku masih kuat,ketika kau janjjikan cinta padaku

Dengan hati yang dipenuhi taman bunga pikiran semerbakku membawaku pada anggukan setia yang mengikat

Tapi sekali lagi,kucoba tuk tabahkan hati………dan aku sudah lelah bila harus menunggu lagi

Kau mengecewakanku,tapi balas dendamku hanyalah senyum dungu untukmu

…………………………………………………..(ponorogo)……………………………………………………………………………..

Ayah

aku sayang Kamu..............

Sequa kalimat yang sang at biasa

Tapi memang baru kusadari bahwa aku memiliki seseorang yang sangat menyayangiku

Dengan semua kasih,perhatian,yang melindungi harga diriku ketika sebuah tirai kehidupan telah dibuka

Dan dia adalah kau,ayah…..

Ayah,aku telah berikrar dalam jiwa jinggaku untuk selalu mendekapmu dalam hari-harimu

Kau yang selalu ajarkanku kemandirian,untaian demi untaian kata yang buatku tegarr selalu kau selipkan ditengah2 risauku

Namu,semuanya tak ada yang abadi

Sering kali air mataku terurai,ketika kasihmu hilang sebentar saja

Ayah,aku tak bisa jauh darimu…..sungguh tak akan pernah bisa

Hingg DIA tlah menarik ulur nadimu nanti…..ayah

Kini aku sadar,bahwa selama ini aku tak menganggapmu ada,selama ini aku acuhkan kasihmu birumu

Aku janji,ayah…akan pikul tanggungjawabku dengan hormat pelangi

Selalu sayangimu,hingga nanti,hingga senja tlah sirna bersama mentari…….

Anak Yatim

Faqih: Eh… Bet! Mana kalimat yang benar?
A. Anak Yatim itu dipukuli ayahnya.
B. Anak yatim itu dipukulkan ayahnya.

Albert: Pasti . . . Anak yatim itu dipukuli ayahnya dong!!!

Faqih: Salah.

Albert: Apaan dong!!!

Faqih: Nggak ada yang bener, anak yatim mana punya ayah…

Albert: @#$%#@

Ungkapanku

Seanggun warna senja menyapa
Bersambut musim yang dijalani
Semegah bintang penuh harapan

Mencoba 'tuk terangi
Dalam gelapnya malam
Ungkapanku untuknya
Untuk seorang wanita
Yang kupuja dan kupuji
Takkan kurasa jenuh
Dirinya di hatiku

Reff:
Parasnya sungguh indah sekali
Menggugah rasa tuk ingin
Selalu bersamanya
Senyumnya menggetarkan jiwaku
Meresap indah dalam alunan
Syair laguku

Seanggun warna senja menyapa
Bersambut musim yang dijalani
Semegah bintang penuh harapan

Mencoba tuk terangi
Dalam gelapnya malam

Back to Reff 2x

Bird Song

A little bird singing a love
song that her mother taught
That little bird somehow sings
it over and over

She files very high try to find
the place she first learnt to fly
She files so very high she
wants to seek an answer from the sky

On a misty mountain over the
clear water river
But there's no misty mountain
let alone a clear water river

Reff :
And she just wants to go home
She just wants to be at home
On a misty mountain
But now turned into barren

She just wants to be singing
when the sun rise in the morning
On a misty mountain
But now turned into barren
She doesn't know what happened
All of those trees has been
cut down
In the name of humanity
The river runs dry
Because now clouds refuse to cry

Back to Reff

If I could
Then I would
Try to make us all
Care bout her call

WAKA_WAKA

You're a good soldier
Choosing your battles
Pick yourself up
And dust yourself off
And back in the saddle

You're on the frontline
Everyone's watching
You know it's serious
We're getting closer
This isnt over

The pressure is on
You feel it
But you've got it all
Believe it

When you fall get up
Oh oh...
And if you fall get up
Oh oh...

Tsamina mina
Zangalewa
Cuz this is Africa

Tsamina mina eh eh
Waka Waka eh eh

Tsamina mina zangalewa
Anawa aa
This time for Africa

Listen to your god
This is our motto
Your time to shine
Dont wait in line
Y vamos por Todo

People are raising
Their Expectations
Go on and feed them
This is your moment
No hesitations

Today's your day
I feel it
You paved the way
Believe it

If you get down
Get up Oh oh...
When you get down
Get up eh eh...

Tsamina mina zangalewa
Anawa aa
This time for Africa

Tsamina mina eh eh
Waka Waka eh eh

Tsamina mina zangalewa
Anawa aa

Tsamina mina eh eh
Waka Waka eh eh
Tsamina mina zangalewa
This time for Africa